Penurunan Angka Kelahiran di Jepang Semakin Mencemaskan
1Buy Celebrex Online – Jepang telah mencatatkan rekor terendah dalam jumlah angka kelahiran, dengan hanya 686.061 bayi lahir di tahun 2024. Ini menandakan penurunan sebesar 5,7 persen dari tahun sebelumnya, yang telah berlangsung selama 16 tahun berturut-turut. Saat ini, tingkat kesuburan Jepang berada di angka 1,15 anak per wanita, jauh di bawah ambang stabilitas populasi yang ideal yaitu 2,1. Pemerintah Jepang, melalui Perdana Menteri Shigeru Ishiba, menggambarkan situasi ini sebagai “darurat yang tidak terlihat.”
Penurunan angka kelahiran di Jepang tak hanya disebabkan oleh faktor sosial, tetapi juga ekonomi. Banyak generasi muda yang enggan menikah atau memiliki anak karena berbagai alasan, seperti prospek pekerjaan yang tidak cerah, biaya hidup yang tinggi, serta budaya perusahaan yang cenderung bias gender. Hal ini berimbas pada perempuan, yang sering kali merasa terbebani dengan tanggung jawab ganda sebagai pekerja dan ibu rumah tangga. Di sisi lain, nilai-nilai keluarga yang lebih konservatif di daerah pedesaan semakin memperburuk situasi ini.
“Simak Juga: Terbatas! 5 Kondisi Darurat Ini yang Dijamin BPJS Kesehatan”
Populasi Jepang yang kini berjumlah sekitar 124 juta orang diproyeksikan akan menurun drastis menjadi 87 juta pada tahun 2070. Dalam proyeksi ini, sekitar 40 persen dari total populasi diperkirakan akan berusia di atas 65 tahun. Fenomena ini tak hanya terjadi di Jepang, namun juga di negara-negara lain di Asia Timur, seperti Korea Selatan dan China, yang juga berjuang menghadapi penurunan angka kelahiran dan populasi yang menua. Bahkan, Vietnam baru-baru ini mencabut undang-undang yang membatasi jumlah anak dalam keluarga sebagai upaya menanggulangi hal ini.
Menurut Prof. Sarah Harper, pakar gerontologi dari Universitas Oxford, dua pertiga negara di dunia kini menghadapi angka kelahiran yang berada di bawah tingkat penggantian (replacement level). Kondisi ini membawa dampak besar terhadap struktur sosial dan ekonomi, termasuk berkurangnya jumlah tenaga kerja produktif, meningkatnya jumlah lansia, serta beban jaminan sosial yang semakin berat.
Pakar demografi menyarankan berbagai solusi untuk mengatasi penurunan angka kelahiran, antara lain:
Menurut Prof. Sarah Harper, salah satu cara untuk meningkatkan angka kelahiran adalah dengan mempermudah hidup bagi perempuan yang ingin memiliki anak. Ini termasuk penyediaan layanan pengasuhan anak yang terjangkau, cuti hamil yang diperpanjang, dan jam kerja fleksibel bagi orangtua baru. Namun, meskipun kebijakan ini dapat memperlambat penurunan, kebijakan tersebut jarang dapat mengubah tren yang ada secara signifikan.
Prof. Ronald Lee dari Universitas California mengemukakan pentingnya memperpanjang usia kerja, mengingat orang-orang saat ini lebih sehat dan aktif dibandingkan generasi sebelumnya. Ia menyarankan menaikkan usia pensiun hingga 70 tahun, sebagai langkah realistis untuk menjaga keseimbangan ekonomi. Singapura telah menerapkan kebijakan serupa, dengan usia pensiun yang akan meningkat menjadi 65 tahun pada 2030.
Meskipun sensitif, peningkatan imigrasi bisa menjadi solusi efektif untuk mengatasi penurunan jumlah tenaga kerja. Negara-negara dengan populasi muda dan angka kelahiran tinggi dapat menjadi sumber tenaga kerja untuk negara dengan populasi menua. “Migrasi dapat dengan mudah memecahkan masalah angka kelahiran rendah,” ujar Prof. Harper. Namun, kebijakan ini memerlukan konsensus politik yang kuat, terutama dalam konteks ekonomi dan politik global yang penuh tantangan.
Para ahli sepakat bahwa untuk mengatasi penurunan angka kelahiran, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang bersifat multi-strategis. Ini meliputi kebijakan yang ramah keluarga, dukungan finansial bagi pasangan yang ingin memiliki anak, serta pengembangan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan fleksibel. Selain itu, perpanjangan usia pensiun dan kebijakan migrasi yang cerdas juga akan menjadi bagian dari solusi yang diperlukan untuk memastikan keberlanjutan ekonomi dan sosial negara di masa depan.
“Baca Juga: OJK, Peserta Asuransi Wajib Bayar 10% dari Biaya Klaim Berobat”
This website uses cookies.